Jumat, 03 Juni 2016

Pernikahan dalam Islam (Ayooo menikah :) :-D)



Pernikahan merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuandalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeuarga yang diridloi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kita ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang bahagi, kemudoian menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam agama islam sudah jelas mana pernikahan yang dilarang dan mana yang diperbolehkan. Adapun yang dimaksud pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan seperti kawin Mut’ah, kawi Syighor dan lain-lain. Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliyah yang mana pada zaman ini orang=orang bagaikan binatang yang memiliki rinsip siapa kuat dialah yang berkuasa.
Adapun pernikahan yang diperbolehkan yaitu pernikahan yang sesauai dengan syari’atseperti ada kedua mempelai, saksi dan wali serta mahar dan apabila salah sayu diantara syarat-syarat terssebut tidak dipenuhi maka pernikahannya tidak sah atau batal.

Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri dan pasangan agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang diharamkan. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan mempunyai keturunan. Dasar hukum pernikahan pada dasarnya adalah jaiz (diperbolehkan). Namun dari segi diminta dikerjakan atau tidak, maka menurut para ahli dalam fiqh bergantung pada keadaan masing-masing orang :
a. Wajib: menurut kebanyakan para ulama fiqh, hukum pernikahan adalah wajib, jika seseorang yakin akan jatuh kedalam perzinaan seandainya tidak menikah, sedangkan ia mampu untuk memberikan nafkah kepada isterinya berupa mahar dan nafkah batin serta hak-hak pernikahan lainnya. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya untuk terjatuh kedalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan lainnya.
b. Haram: nikah diharamkan jika seseorang yakin akan menzalimi dan membahayakan istrinya jika menihak, seperti dalam keadaan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, atau tidak bisa berbuat adil diantara istri-istrinya. Karena segala sesuat yang menyebabkan terjerumus kedalam keharaman hukumnya juga haram.
c. Makruh: pernikahan dimakruhkan jika seseorang khawatir terjatuh pada dosa dan mara bahaya. Menurut para ulama syafi’i, menikah makruh hukumnya bagi orang yang memiliki kelemahan, seperti tua renta, penyakit abadi, kesusahan yang berkepanjangan.
d. Sunah: menurut jumhur ulama selain imam syafi’i, nikah disunahkan jika seseorang dalam kondisi stabil.
Syarat dan Rukun Nikah
Syarat nikah itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia berada diluar hakikat sesuatu tersebut. Syarat sah nikah ada 10 (sepuluh) macam:
1.      Objek cabang
2.      Mengekalkan sighat akad
3.      Persaksian
4.      Ridha dan ikhtiyar (memilih)
5.       Menentukan pasangan
6.      Tidak sedang ihram haji dan umrah
7.      Harus dengan mahar
8.      Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
9.      Hendaknya salah satu atau keduanya tidak sedang mengidap penyakit yang mengkhawatirkan
10.   Wali
Rukun ialah hal yang hukum syar’i tidak mungkin ada melainkan dengannya. Menurut jumhur ulama adalah hal yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain hal yang harus ada. Menurut jumhur ulama ada 4 (empat) rukun nikah. Yaitu:
1.      Sighat (ijab dan qabul)
2.       Istri
3.       Suami
4.       Wali
Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

Dalam syarat pernikahan kita telah mengetahui bahwa bagi mempelai perempuan di syaratkan tidak mempunyai hubungan mahram dengan orang laki-laki yang ingin dia nikahi. Ada dua jenis perempuan yang haram untuk dinikahi. Jenis yang pertama pengharamannya bersifat abadi, sedangkan jenis yang kedua pengharamannya bersifat sementara.
Ada dua puluh jenis perempuan yang haram untuk dinikahi selamanya. Yang berdasarkan hubungan nasab ada tujuh orang, yaitu: ibu, anak perempuan, bibi dari pihak ibu, saudara perempuan, bibi dari pihak bapak, anak permpuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, dan para perempuan yang memiliki posisi yang sama dengan ketujuh orang perempuan ini akibat hubungan sesusuan.
Sedangkan yang berdasarkan hubungan perbesanan ada empat, yaitu: ibu mertua, saudara perempuan istri, istri bapak, dan istri anak. Juga para perempuan yang posisinya sama dengan keempat perempuan ini akibat hubungan susuan.

Sedangkan perempuan yang haram dinikahi dalam jangka waktu sementara berjumlah dua puluh tiga orang, yaitu: perempuan yang telah murtad, perempuan non muslimah yang bukan golongan dari ahli kitab, istri yang kelima, perempuan yang tengah bereda dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, perempuan yang tengah berada dalam masa iddah, perempuan yang tengah menjalani masa istibraa’ (pembersihan rahim), perempuan yang tengah hamil, istri yang ditalak tiga, budak permpuan milik bersama, budak perempuan yang kafir, budak perempuan muslimah yang menemukannya dalam jangka waktu yang lama, budak perempuan milik anak laki-laki dan budak permpuan milik dirinya sendiri, tuannya yang permpuan, ibu tuannya, perempuan yang tengah melakukan ihram haji, perempuan yang sakit, saudara perempuan istrinya, bibi istrinya dari pihak ibu, bibi istrinya dari pihak bapak, maka dia tidak boleh memadu istrinya dengan bibinya.

Hikmah pengharaman terhadap perempuan yang mempunyai hubungan nasab ialah mendirikan sistem keluarga yang berlandaskan rasa sayang dan cinta yang murni, yang tidak dikotori oleh kepentingan. Dengan adanya pengharaman tersebut, terputuslah rasa tamak dan terwujudlah persatuan dan pergaulan yang murni. Dengan menikahi dari salah seorang tersebut (nasab) akan menyebabkan terputusnya hubungan silaturahmi akibat adanya pertengkaran dan perselisihan yang biasanya terjadi antara pasangan suami-istri. Disamping itu juga membuat lemah keturunan. Berbeda dengan pernikahan dengan perempuan yang memiliki hubungan yang jauh, yang dapat melahirkan keturunan yang kuat, sebagaimana yang telah dibuktikan secara medis dan syariat. Dalam sebuah atsar disebutkan
اغتربوا ولاتضووا

“menjauhlah kalian agar lahir keturunan yang tidak lemah”
Maksudnya, nikahilah dengan wanita yang jauh (secara nasab) agar jangan sampai lahir keturunan yang lemah.
Sedangkan pengharaman akibat besanan , bahwa akad itu sendiri terhadap seseorang perempuan membuat haram orang tuanya, kecuali keturunan istrinya. Para ahli fiqh telah menetapkan kaidah yang tersohor berbunyi: “akad pernikahan kepada anak perempuan membuat haram untuk menikahi ibunya. Dan menggauli ibu membuat haram untuk menikahi anak permpuannya.” Yang menjadi pembedaan ini adalah sesungguhnya manusia mencintai anak laki-lakinya atau perempuannya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Berbeda dengan rasa cintanya kepada orang tua. Seorang ibu ridak akan merasa sakit seandainya bekas suaminya menikahi anak perempuannya setelah sebelumnya dia dinikahi olehnya.
Hikmah pengharaman terhadap hubungan besanan sebagaimana dijelaskan oleh ad-Dahlawi adalah “mencegah perselisihan dan pertikaian yang terkadang terjadi diantara sanak kerabat dari jenis ini dengan cara melepas hubungan seorang istri dengan suaminya atau dengan cara bertikai dengan suaminya.”

Para perempuan yang diharamkan akibat hubungan persusuan adalah sama dengan para perempuan yang diharamkan akibat hubungan nasab. Hikmahnya ialah karena beberapa bagian tubuh manusia terbentuk dari susu. Susu seorang perempuan menyebabkan tumbuhnya daging anak yang dia susui dan membuat ukuran tulangnya menjadi membesar. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: “tidak dinamakan menyusu kecuali apa yang dapat memperbesar tulang dan menumbuhkan daging.”
 Pernikahan yang Dilarang Dalam Islam

1. Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.

Dalam kitab minhajul muslimin halaman 437 disebutkan ” Nikah mut’ah adalah nikah yang dilakukan sampai batas waktu tertentubaik masa itu lama ataupun sebentar, seperti laki-laki menikahi perempuan pada masa tertentu seperti satu bulan atau satu tahun.”
Sesungguhnya Rosulullah melarang nikah mut’ah dan daging himar pada masa perang khoibar
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَاخَرَجَ عَلَيْنَا مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا يَعْنِي مُتْعَةَ النِّسَاءِ

Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:”Seorang yang akan memberikan pengumuman dari Rasulullah saw. keluar menghampiri kami dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. sudah mengizinkan kamu sekalian untuk menikahi kaum wanita secara mut`ah”
قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُاكُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَنَا نِسَاءٌ فَقُلْنَا أَلَا نَسْتَخْصِي فَنَهَانَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا أَنْ نَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ إِلَى أَجَلٍ ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللَّهِ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ }

Abdullah bin Mas`ud ra., ia berkata: “Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri lalu kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu Abdullah membacakan ayat: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Namun golongan syi’ah dalam hal ini ada yang membolehkan nikah mut’ah dengan syarat-syarat sebagai berikut “kalimat yang digunakan dalam perkawinan adalah Zawajtuka/ Unkihuka (aku akwinkan? aku nikahkan engkau ) atau dengan lafadz Matta’tuka (aku nikahkan mut’ah engkau)
Dalam perkawinan ini apabila mas kawin tidak disebutkan dan batas wakatunya juga tidak disebutkan amka batal nikahnya, sedangkan apabila maskawinnya disebutkan tetapi batas awaktunya tidak maka akan maenjadi paernikahan biasa. Mengenai masalah anak yangdilahiarkan dari pernikahan ini statusnya adalah maenjadi anaknya sendiri, Akantetapi tidak ada thalak dan li’an, juga tidak ada waris mewarisi antara suami istari, anak berhak mewaris dari ayah maupun ibunya begitu juga sebaliknya. Hukum nikah ini adaalh batal, dan jika terjadi maka wajib fasak ( rusak ) dan mahar wajib dibayar jika telah menyetubuhi perempuannya dan jika belum bersetubuh maka tidak wajib membayar mahar.

2. Nikah Syighor

Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku juga mengangkat kaki anak perempuanmu.
Definisi nikah ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu”

Berdasarkan hadits Rosulullah SAW : “ Tidak ada nikah syighar dalam Islam”
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: “Bahwa Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Dan nikah syighar ialah seorang lelaki mengawinkan putrinya kepada orang lain dengan syarat orang itu mengawinkannya dengan putrinya tanpa mahar antara keduanya.
“Nikah Syighor hukumnya tidak sah karena dilarang oleh nabi Muhammad SAW dalam hadis bukhori muslim seperti perkataan seseorang ” aku nikahkan dia (pr) kepadamu asalkan kamu mengawinkan putrimu kepadaku dan vagina mereka masing-masing sebagai mahar”
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak. Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah perkawinan tersebut sah saja asal ada maskawin untuk perempuan yang dinikahi, sebab seorang perempuan buakanlah sebuah maskawin. Akad dalam nikah ini sah, akan tetapi maskawin harus diganti dengan mahar mitsil yang seimbang.

3. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah wanita itu selesai. Dikatakan muhallil karena ia dianggap membuat halal lagi bekas suami yang dulu agar bisa mengawini bekas istrinya yang sudah ditalak bain.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil ) dan muhallala lahu )
Menurut Imam Syafi’I perkawinan ini sama saja dengan nikah mut’ah karena seolah-olah wali siperempuan yang dinikahkan berkata kepada calon suaminya “ku nikahkahan engkau dengannya dengan syarat setelah engkau melakukan hubungan seksual engkau harus menceraikannya“. Berarti ada batasan waktu dalam perkawinan ini, untuk itu hukumnya tidak diperbolehkan.

4. Nikah Badal
Artinya pernikahan dengan saling tukar-menukar istri, misalnya seorang yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
5. Nikah Istibdlo’
Yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut, setelah diketahui jelas kehamilannya maka diambil kembali oleh suaminya yang pertama.
6. Nikah Righoth
Yakni pernikahan yang dilakukan beberapa laki-laki secara bergantian menyetubuhi wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan wanita tersebut menunjuk salah satu diantara laki-laki yang menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan, kemudian antara keduanya berlaku kehidupan sebagai suami istri.
7. Nikah Baghoya
Yaitu pernuikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual dengan beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila. Setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggillah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili.
8. Nikah dengan wanita pezina
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Artinya : Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]
Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi. Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal”.
9. Nikah saat melakukan Ihrom
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar”
10. Nikah dengan istri yang ditalak tiga
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,“Tidak, hingga engkau merasakan madunya (ber-setubuh) dan ia merasakan madumu”
11. Nikah dengan wanita yang senasab atau ada hubungan kekeluargaan
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa’ : 23]
12. Nikah dengan wanita yang masih bersuami
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya “ Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami…” [An-Nisaa’ : 24]
13. Nikah dengan lebih dari empat orang
Berdasarkan firman Allah Ta’ala “ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” [An-Nisaa’ : 3]
Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih empat orang isteri, beliau bersabda” Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya”. Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersab “ Pilihlah empat orang dari mereka”.



Tujuan dan Hikmah Pernikahan
1.     Menjaga Diri Dari Perbuatan Maksiat
Agama Islam adalah agama yang tidak pernah bertentangan dengan sesuatu hal yang bersifat alami. Oleh karena itu syari’at Islam akan senantiasa selaras dengan fitrah manusia normal. Dan diatara bukti keselarasan tersebut disyari’atkannya pernikahan. Yang demikian itu karena manusia diciptakan didunia ini dalam keadaan memiliki kebutuhan biologis, kebutuhan akan makan, minum, tidur, dan kebutuhan seksual dst. Berbagai kebutuhan biologis manusia normal ini tidaklah pernah dihapuskan atau dilalaikan dalam islam, akan tetapi diatur sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan tujuan utama diciptakannya manusia di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah. Bahkan pemenuhan terhadap berbagai kebutuhan tersebut menjadi bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam.
“Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan: Nabi shollallahu’alaihiwasallam menjalinkan tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisy) dengan sahabat Abud Darda’, maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’, kemudian ia melihat Ummu darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi, maka ia (sahabat Salman) bertanya kepadanya: Apa yang terjadi pada dirimu? Ummu Darda’-pun menjawab: Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang ada di) dunia. Maka tatkala Abud Dardda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman) makanan, kemudian sahabat Salman pun berkata: Makanlah (wahai Abu Darda’) Maka Abud Darda’ pun menjawab: Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Mendengar jawabannya sahabat Salman berkata: Aku tidak akan makan, hingga engkau makan, makaAbud Darda’pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abud Darda’ bangun (hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata kepadanya: Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan sahabat Salman pun kembali berkata kepadanya: tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir, sahabat Salman berkata: Nah, sekarang bangun, dan shalat (tahajjud). Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata: Sesungguhnya Tuhan-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya. Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shollallahu’alaihiwasallam menjawabnya dengan bersabda: Salman telah benar. (HRS Bukhari)
Dan dalam kaitannya dengan permasalahan yang menjadi tema pembicaraan kita, syari’at islam mengajarkan agar umatnya menjadikan pernikahan sebagai sarana pelampiasan terhadap kebutuhan biologis seksual dengan cara-cara yang baik. Sehingga bila kebutuhan biologis ini dapat terpenuhi, maka seseorang -dengan izin Allah- akan dapat menjaga dirinya dari perbuatan yang melanggar syari’at. Oleh karenanya Rasulullah  shollallahu’alaihiwasallam berwasiat kepada para pemuda: “Wahai para pemuda, barang siapa dari kamu telah mampu memikul tanggul jawab keluarga, hendaknya segera menikah, karena dengan pernikahan engkau lebih mampu untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluanmu. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengendalikan dorongan seksualnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan pada hadits lain, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tiga golongan manusia yang layak untuk ditolong oleh Allah: Seorang pejuang (mujahid) di jalan Allah, seorang budak yang berjanji menebus dirinya dengan niat ia akan memenuhi tebusannya, dan orang yang menikah agar dapat menjaga dirinya.” (Riwayat At Tirmizy dan ia menyatakan: Hadits ini adalah hadits hasan lagi shahih, dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban, Al Hakim dan dihasankan oleh Al Albany)
Bahkan Allah Ta’ala menjadikan tujuan ini sebagai syarat dihalalkannya pernikahan:
“Dan dihalalkan bagimu wanita-wanita yang selain demikian (selain wanita-wanita yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya) yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (An Nisa’ 24)
2.  Mengamalkan Ajaran Nabi shollallahu’alaihiwasallam
Sebagaimana di atas telah dinukilkan kisah yang diriwayatkan oleh sahabat, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam mengajarkan kepada umatnya untuk menikah, maka diantara tujuan menikah ialah meniru dan menjalankan syari’at dan ajaran beliau shollallahu’alaihiwasallam. Oleh karena itu beliau shollallahu’alaihiwasallam mengingkari keinginan sebagian sahabatnya yang hendak meninggalkan ajaran ini, bahkan beliau shollallahu’alaihiwasallam menyatakan bahwa siapa saja yang tidak suka dengan ajaran ini yaitu pernikahan, maka ia tidak termasuk ke dalam ummat beliau shollallahu’alaihiwasallam.
“Diriwayatkan dari sahabat Anas rodiallahu’anhu, ia mengisahkan: bahwasannya sebagian sahabat nabi shollallahu’alaihiwasallam bertanya kepada istri-istri Nabi shollallahu’alaihiwasallam tentang amalan ibadah beliau ketika berada dalam rumah, kemudian sebagai dari mereka (sahabat yang bertanya): Aku tidak akan menikahi seorang wanita, sebagian lagi berkata: Aku tidak akan makan daging, sebagian lagi berkata: Aku tidak akan tidur di atas tempat tidur (shalat malam terus menerus). Maka Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam memuji dan menyanjung Allah, lalu bersabda kepada para sahabatnya: Mengapa sebagian dari orang ada yang berkata demikian dan demikian?! Akan tetapi aku menjalankan shalat (malam), dan juga tidur, berpuasa dan juga (kadang kala) tidak berpuasa (sunnah), dan aku juga menikahi wanita, maka barang siapa yang tidak suka dengan ajaranku, maka ia tidaklah termasuk dalam ummatku.” (Muttafaqun ‘alaih)
3.    Memperbanyak Jumlah Ummat Islam
Adalah suatu hal yang lazim terjadi dari pernikahan adalah dilahirkannya keturunan yang diatas punggung merekalah terletak tanggung jawab perjuangan, dakwah, pembelaan terhadap negara dan agama. Sebab dengan jumlah ummat yang banyak, maka kekuatan ummat islam akan bertambah, baik kekuatan militer, ekonomi, dll. Oleh karena itu musuh-musuh islam dimana saja dengan gencarnya melancarkan program KB (Keluarga Berencana), dan juga berbagai makar guna membatasi pertumbuhan dan mengurangi jumlah umat Islam. Sebagaimana dengan jumlah ummat yang banyak, berati ummat yang menjalankan misi dan tujuan dari diciptakannya dunia ini semakin banyak. Sebagaimana dengan bertambah banyaknya jumlah umat islam rasa keterasingan di masyarakat akan dapat disirnakan, sehingga umat islam akan semakin ringan dan mudah dalam menjalankan ibadah mereka kepada Allah.
Oleh karena itu kita dapat merasakan bahwa puasa ramadhan, lebih ringan pelaksanaannya dibanding puasa sunnah, sebab ketika puasa ramadhan, seluruh anggota masyarakat secara bersama-sama menjalankannya, beda halnya dengan puasa sunnah, demikian juga halnya dengan ibadah-ibadah lainnya.
Sebagaimana dengan pernikahan yang kemudian melahirkan anak keturunan, kita berarti sedang berupaya mewujudkan keinginan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, yaitu berbangga-bangga dihadapan para nabi lainnya kelak pada hari qiyamat.
“Nikahilah wanita-wanita yang bersifat penyayang dan subur (banyak anak), karena aku akan berbangga-bangga dengan (jumlah) kalian dihadapan umat-umat lainnya kelak pada hari qiyamat.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, At Thabrany dan dishahihkan oleh Al Albany)
4.      Membina Rumah Tangga Yang Islami & Menerapkan Syari’at
Rumah tangga
adalah suatu tatanan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak, dan dari keluarga inilah penerapan syariat dimulai. Setiap anggota keluarga bahu membahu dalam menanamkan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, mentumbuh suburkan pengamalan syari’at dan memerangi kemungkaran. Dengan demikian bila jumlah keluarga yang benar-benar telah menegakkan syari’at telah banyak, maka suatu saat dari komunitas tersebut akan terbentuklah suatu tatanan masyarakat yang islami. Dan dari tatanan masyarakat yang islami itulah akan muncul tokoh-tokoh masyarakat yang akan memperjuangkan kebenaran, baik melalui tulisan, tindakan, pendanaan, kekuatan fisik dan lain-lainnya. Demikianlah sunnatullah dalam menegakkan syari’at, yaitu dimulai dari penegakan syari’at pada diri sendiri, kemudian dilanjutkan penagakan syari’at dalam keluarga:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakaranya adalah manusia dan batu; penjaganya mailakt-malaikat yang kasar yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim 6)
Diantara gambaran nyata penegakkan syari’at dalam kehidupan rumah tangga ialah apa yang disebutkan dalam hadits berikut: “Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu ia menuturkan: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun malam, lalu shalat dan membangunkan istrinya, bila ia enggan maka ia menciprati wajahnya dengan air, dan semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam kemudian shalat dan membangunkan suaminya, bila ia enggan, maka ia menciprati wajahnya dengan air.” (Riwayat Abu Dawud, An Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dihasankan oleh Al Albany)
Bila penegakan syari’at pada diri sendiri dan keluarga telah dilaksanakan dengan baik, maka barulah upaya penegakan syari’at dalam lingkup masyarakat yang lebih luas, yang mencakup sanak saudara dan berlanjut kepada masyarakat sekitar dan seterusnya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-oang yang beriman lelaki dan perempuan sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah 71) Pada akhir pembahasan ini, tiada kata yang lebih indah untuk dijadikan sebagai penutup tulisan ini dari ucapan doa: “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.“Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak keturunanku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb kami, kabulkanlah do’a kami. “Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami -atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan padanya, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam”.
a) Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam sabdanya:
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima’ dan biayanya) maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b) Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)
“Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya.” (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)
Kisah:
Al Ghazali bercerita tentang sebagian ulama, katanya:”Di awal keinginan saya (meniti jalan akhirat), saya dikalahkan oleh syahwat yang amat berat, maka saya banyak menjerit kepada Allah. Sayapun bermimpi dilihat oleh seseorang, dia berkata kepada saya:”Kamu ingin agar syahwat yang kamu rasakan itu hilang dan (boleh) aku menebas lehermu? Saya jawab:”Ya”. Maka dia berkata:”Panjangkan (julurkan) lehermu.” Sayapun memanjangkannya. Kemudian ia menghunus pedang dari cahaya lalu memukulkan ke leherku. Di pagi hari aku sudah tidak merasakan adanya syahwat, maka aku tinggal selama satu tahun terbebas dari penyakit syahwat. Kemduian hal itu datang lagi dan sangat hebat, maka saya melihat seseorang berbicara pasa saya antara dada saya dan samping saya, dia berkata:”Celaka kamu! Berapa banyak kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan darimu sesuatu yang Allah tidak suka menghilangkannya! Nikahlah!” Maka sayapun menikah dan hilanglah godaan itu dariku. Akhirnya saya mendapatkan keturunan.” (Faidhul Qadir VI/103 no.8591)
c) Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan asusila. Maka mempermudah pernikahan syar’i adalah solusi dari semu itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Hakim, hadits shahih)
d) Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga, dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.
e) Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. ar Ra’d:38
f) Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan syahwat dengan penuh ketenangan
.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
g) Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan adanya anak.
h) Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.

Ayoo yang belum menikah semoga disegarakan yaa.. hehe
Dan yang sudah menikah semoga bisa mejadi keluarga yang sakinah ma’waddah wa rahmah..aamiin.. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar